JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sudah 13 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan 2 BPRS yang dinyatakan likuidasi atau bangkrut. Izin operasional ke-15 bank tersebut juga sudah dicabut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menegaskan, pencabutan izin usaha dilakukan karena pemegang saham dan Pengurus BPR tidak mampu melakukan upaya penyehatan terhadap BPR/BPRS yang sebagian besar terjadi karena adanya penyimpangan dalam operasional BPR.
"Saat ini, OJK terus melakukan tindakan pengawasan terutama memastikan rencana tindak penyehatan dilakukan oleh beberapa BPR/S dengan status pengawasan Bank Dalam Penyehatan," kata Dian dalam jawaban tertulis RDKB OJK, Jumat (11/10/2024).
OJK tidak hanya melakukan pengawasan dengan memastikan rencana penyehatan saja, tetapi ada langkah selanjutnya yang akan dikoordinasikan dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Apabila sampai dengan batas waktu yang ditentukan atau kondisi BPR/S terus memburuk maka OJK akan melakukan tindakan pengawasan selanjutnya dengan menetapkan BPR/S sebagai Bank Dalam Resolusi dan berkoordinasi dengan LPS untuk menangani BPR/S tersebut dengan langkah terakhir melakukan cabut izin usaha terhadap BPR/S tersebut," jelas Dian.
Namun, dari penjelasan tersebut Dian tidak menjawab ada berapa BPR atau BPRS yang statusnya terancam tutup atau dalam pantauan OJK. Tetapi OJK sudah memprediksi bahwa akan ada 20 BPR yang tutup sampai akhir tahun 2024.
Belum lama ini, OJK juga menilai industri BPR dan BPRS akan selalu dihadapkan pada tantangan, baik global dan domestik maupun tantangan struktural yang bersumber dari internal bank tersebut.
Dengan adanya tantangan tersebut memang membuat 15 BPR tutup karena adanya likuidasi. Menurut Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS Purbaya Yudhi Sadewa, setiap tahun ada sebanyak 6 hingga 7 BPR jatuh yang utamanya, bank-bank yang jatuh itu disebabkan oleh mismanagement oleh pemiliknya.