JAKARTA - Indonesia menegaskan komitmen dalam memperkuat tata kelola karbon dan pembiayaan iklim berbasis hutan. Pemerintah dan dunia usaha menyampaikan arah kebijakan nasional menuju pencapaian FOLU Net Sink 2030 serta langkah memperkuat Carbon Economic Value (Nilai Ekonomi Karbon/NEK) sebagai pendorong transformasi ekonomi hijau.
Staf Ahli Menteri Bidang Perubahan Iklim Haruni Krisnawati menjelaskan, keberhasilan Indonesia dalam tata kelola REDD+ dibangun dari integritas data, konsistensi kebijakan, serta kemampuan menekan deforestasi hingga lebih dari 60 persen selama satu dekade terakhir. Menurutnya, keberhasilan tersebut menjadi fondasi kuat untuk mendorong pembiayaan iklim yang lebih luas.
“Pengalaman Indonesia membuktikan bahwa keberhasilan REDD+ tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis menghitung emisi, tetapi juga oleh tata kelola yang jelas, integritas data, dan kepemilikan yang kuat dari tingkat lokal hingga nasional,” ujar Haruni, Senin (17/11/2025).
Dia menjelaskan, penerapan NEK melalui Peraturan Presiden No. 110/2025 menciptakan arsitektur nasional yang menyatukan mekanisme pasar dan non-pasar dalam satu kerangka yang transparan dan akuntabel. Kerangka tersebut mendukung percepatan pencapaian FOLU Net Sink 2030 sekaligus memberi kepastian bagi investasi karbon yang berintegritas.
Haruni menambahkan bahwa penguatan NEK bertujuan memastikan manfaat ekonomi dari penurunan emisi dapat langsung dirasakan masyarakat dan pelaksana di tingkat tapak. Sistem Registri Nasional digunakan untuk menelusuri pergerakan setiap unit karbon secara transparan, mulai dari verifikasi hingga transaksi.
Sementara itu, Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, Kementerian Lingkungan Hidup, Wahyu Marjaka, menyatakan, terbitnya Perpres No. 110/2025 akan semakin memperkuat instrumen pembiayaan untuk mendukung pencapaian aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030.
"Perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja menjadi instrumen penting dari nilai ekonomi karbon, yang keduanya akan saling melengkapi dan memperkuat," kata Wahyu.
Wahyu menegaskan, pengalaman penerapan instrumen nilai ekonomi karbon menjadi pembelajaran penting untuk ke depan. "Kunci utamanya adalah menciptakan sistem yang kredibel, berintegritas dan transparan," ujar Wahyu.
Dari sisi dunia usaha, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, menyampaikan bahwa pelaku usaha kehutanan kini tengah mempersiapkan integrasi tata kelola karbon ke dalam model bisnis mereka. Ia menekankan bahwa persyaratan integritas—mulai dari legalitas, metodologi perhitungan yang kredibel, hingga mekanisme pembagian manfaat dengan masyarakat—menjadi kunci agar kredit karbon Indonesia dapat diterima pasar global.
Purwadi menekankan bahwa dukungan terhadap investasi hijau sangat diperlukan untuk mencapai FOLU Net Sink 2030. Investasi sektor swasta akan berkontribusi penting dalam kegiatan aksi mitigasi penurunan emisi.
“Untuk menggerakkan investasi, Indonesia perlu membangun ekosistem pembiayaan yang memungkinkan kredit karbon menjadi portofolio untuk penilaian pinjaman, insentif fiskal seperti pengurangan pajak, hingga penurunan bunga investasi hijau,” jelas Purwadi.